1. 1. Pengertian Perkebunan
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004, yang dimaksud dengan
perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah
dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan
memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.Tanaman tertentu
adalah tanaman semusim dan/atau tanaman tahunan yang karena jenis dan tujuan
pengelolaannya ditetapkan sebagai tanaman perkebunan.
Perkebunan diselenggarakan berdasarkan atas asas
manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta
berkeadilan, sedangkan tujuan pengelolaan perkebunan adalah:
- Mmeningkatkan pendapatan masyarakat
- Meningkatkan penerimaan negara
- Meningkatkan penerimaan devisa negara
- Menyediakan lapangan kerja
- Meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing
- Memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri; dan
- Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Perkebunan mempunyai tiga fungsi, yaitu:
- Ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional
- Ekologi, yaitu peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen, dan penyangga kawasan lindung; dan
- Sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa. Pelaku usaha perkebunan di Indonesia dibedakan atas dua golongan yaitu pekebun dan perusahaan perkebun.
Pekebun adalah perorangan yang melakukan usaha
perkebunan dengan skala usaha tidak mencapai skala tertentu, atau lebih dikenal
dengan perkebunan rakyat. Perusahaan perkebunan adalah pelaku usaha perkebunan
berbentuk badan hukum yang meliputi koperasi dan perseroan terbatas baik
milik negara maupun swasta, yang mengelola usaha perkebunan dengan skala
tertentu.
Tabel 1.1. Dua jenis pengelolaan perkebunan di Indonesia
Perkebunan Rakyat
|
Perkebunan Besar
|
1. Luas lahan relatif sempit
2. Modal lemah
3. Tingkat teknologi
tradisional
4. Pengolahan hasil
konvensional
|
1. Luas lahan besar
2. Modal kuat
3. Teknologi maju
4. Pengolahan hasil modern
|
Berdasarkan kemampuan yang dimiliki maka perkebunan
besar mampu untuk meningkatkan penghasilan dan keuntungan per hektar dan per
satuan tenaga kerja yang lebih tinggi dibanding perkebunan rakyat. Tetapi hal
ini tidaklah berarti bahwa perkebunan besar tidak mempunyai kesulitan
/permasalahan, diantaranya:
·
Perkebunan Besar biasanya mempunyai beban bunga yang
tinggi dari penanaman modal.
·
Perkebunan Besar mempunyai resiko besar terhadap
beberapa fluktuasi harga pasaran dunia, sedangkan pemindahan hasil komoditi
dari yang satu ke yang lain tidaklah mudah.
·
Perkebunan Besar memerlukan tenaga kerja yang besar
dan relatif mahal, meskipun tenaga kerja yang banyak dan murah merupakan salah
satu ciri negara tropis, tetapi dalam praktek permasalahan yang timbul cukup
banyak karena upah tenaga kerja merupakan masukan2 yang besar.
Sedangkan perkebunan kecil /rakyat mempunyai beberapa kelebihan dibanding
perkebunan besar, diantaranya adalah :
·
Perkebunan kecil merupakan usaha yang dijalankan oleh
keluarga, termasuk pengadaan kebutuhan pangannya, sehingga penganekaragaman
hasil lebih mudah dilaksanakan dalam waktu yang kritis (pemasaran, perang dsb).
·
Usaha perkebunan memerlukan masukan tenaga kerja yang
tinggi dan relatif sedikit memerlukan mesin, sehingga memungkinkan perkebunan
diusahakan secara ekonomis dalam bentuk perkebunan kecil tanpa menghadapi
kesulitan yang berarti dalam masalah tenaga kerja, karena relatif cukup
tersedia dalam keluarga.
·
Bila resiko pemasaran meningkat, gejolak politik
meningkat dan upah buruh meningkat, maka perkebunan kecil lebih mampu bertahan
dibandingkan perkebunan besar.
Perkebunan besar lebih mampu bersaing dibanding dengan
perkebunan kecil, hanya dalam kondisi spesifik sebagai
berikut.:
- Bila proses produksi memerlukan teknologi yang tinggi.
- Bila produksi per ha adalah besar sehingga memerlukan biaya transpor yang tinggi.
- Bila produksi mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dan untuk pemasaran memerlukan persyaratan kualitas seragam, dan harus bisa menyerahkan hasil pada waktu yang telah ditentukan
1.2. Perkebunan di Indonesia
Secara spesifik, dapat dikatakan
bahwa pengelolaan tanaman perkebunan di Indonesia merupakan pioner dari
agribisnis tanaman tahunan. Kata lainnya, keberadaan tanaman perkebunan – yang
berawal dari masuknya investasi Eropah
yang sejalan dengan tumbuh pesatnya industri
merupakan subsektor yang berperan penting dalam ekonomi nasional. Krisis
moneter 1998 menunjukkan pelaku pada
tanaman perkebunan tidak mengalami goncangan ekonomi, bahkan memetik
keuntungan, meskipun secara umum dinyatakan sektor pertanian merupakan sektor
yang paling aman pada krisis ekonomi tersebut. Catatan catatan perkembangan
membuktikan bahwa keberadaan tanaman perkebunan di Indonesia memberi arti yang
signifikan. Dalam 25 tahun terakhir ini misalnya. Areal dan produksi tanaman
perkebunan di Indonesia meningkat konsisten rata rata 4,8% dan 5,65 (
Direktorat Jenderal Perkebunan, 2000).
Perkembangan devisa yang diperoleh dari komoditas perkebunanpun mencapai 8,36%
dari total ekspor nonmigas. Tenaga kerja yang terlibat dalam komoditas inipun
bahkan mencapai lebih dari 13 juta jiwa, suatu angka angka yang menunjukkan subsektor ini diperhitungkan
dalam ekonomi nasional. Hal ini bahkan sudah sejak tahun 1925, khususnya
kontribusi perkebunan (yang saat itu
umumnya merupakan dalam bentuk perusahaan asing) signifikan dalam pertumbuhan
ekonomi (lihat Pelzer, ). Tahun 1972 misalnya, komoditas karet sudah memberikan
kontribusi sebesar US 22 juta, atau 16% dari sektor nonmigas. Pada tahun 1980,
perkebunan memberikan kontribusi sebesar US 1.113 juta (Mubiarto dan Setyawan,
1991).
Sifat pengelolaan tanaman perkebunan
yang menggunakan sumber daya domestik, memiliki kesesusian agroklimat yang luas
di Indonesia, dan potensi pengelolaannya dapat dalam bentuk polikultur, maka
pengelolaan tanaman perkebunan di Indonesia memiliki keunggulan komparatif dan
kompetitif. Dalam skala akademik, Suprihatini et al. (1996)
membuktikannya pada komoditas teh dan
Susila (1998) untuk komoditas minyak kelapa sawit. Sejalan dengan dinamika
ekonomi dunia, “masa emas” pengelolaan tanaman perkebunan kita tampaknya
mengalami kemunduran. Pasalnya, penurunan harga komoditas perkebunan tertentu
(terutama karet dan minyak sawit) dalam 5 – 10 tahun terakhir ini menjadikan
kita perlu mengkaji ulang sistem manajemen secara keseluruhan. Dalam konteks
nasional misalnya, tertinggalnya industri sehingga ketergantungan terhadap
harga bahan baku internasional tidak terantisipasi. Dengan kata lain, handalan
terhadap ekspor bahan baku semata selama bahkan ratusan tahun akhirnya memberi
warna suram pada seluruh pelaku perkebunan, utamanya petani. Kombinasi faktor
resiko harga ini (price risk) dengan sejumlah resiko lainnya seperti resiko
iklim (climate risk), resiko dinamika input (input risk) da sejumlah resiko
lain yang berada di luar kendali pelaku
(tanaman) perkebunan menjadikan dialaminya resiko profit (profit risk)
sebagaimana dinyatakan Bowman dan
Zilberman (2013).
1.3. Perkebunan Indonesia dan dunia
Dalam konteks keberadaan
perkebunan dunia, Indonesia, sebagaimana dilaporkan World Resource Institute (
), memang berkontribusi besar. Tabel 2 menunjukkan bahwa Indonesia, Malaysia
dan Brazil merupakan negara negara yang mendominasi pengelolaan tanaman
perkebunan. Indonesia masih merupakan negara yang terluas mengelola tanaman
perkebunan yang umumnya terdiri dari kelapa sawit, karet, kopi, kakao, dan teh.
Dalam kurun waktu 2013-2014, Indonesia memiliki 24.600.000 ha areal perkebunan,
jauh di atas Malaysia (10011000 ha) dan Brazil (9523000 ha). Luas areal
perkebunan di Indonesia meliputi 12,9% dari luas negara. Riskannya- demikian
laporan World Resource Insititute (2018 ) , Indonesia mengalami
kehilangan diversifikasi tegakan pohonnya mencapai 55%.
Tabel 1.2. Distribusi jenis tanaman menurut
negara (2013- 2014)
Negara
|
Perkebunan skala besar
|
Perkebunan skala
menengah
|
Perkebunan skala kecil
|
Penanaman baru
|
Luas seluruhnya
|
000 ha
|
|||||
Peru
|
56
|
14
|
20
|
14
|
104
|
Liberia
|
94
|
0
|
0
|
52
|
146
|
Kolumbia
|
481
|
3
|
0
|
18
|
499
|
Kamboja
|
290
|
462
|
0
|
162
|
915
|
Brazil
|
8563
|
291
|
19
|
650
|
9523
|
Malaysia
|
5659
|
2477
|
487
|
1388
|
10011
|
Indonesia
|
14122
|
4741
|
3929
|
1808
|
24600
|
Luas seluruhnya
|
29265
|
7988
|
4455
|
4088
|
45796
|
Sumber : World Resource Institute (2018).
1.4. Pendekatan baru :multikultur
Dalam konteks inilah dibutuhkan
pendekatan baru terhadap pengelolaan tanaman perkebunan di Indonesia.
Persoalannya bukan lagi sekedar capaian produksi yang berbasis kepada perluasan
areal semata, atau kontiuintas terhadap industri untuk nilai tambah siap
dikonsumsi, tetapi secara menyeluruh pengelolaan tanaman perkebunan harus juga
menganut dan mengembangkan konsep baru pertanian : berbasis ekologi,
meminimalkan input buatan, penguatan kelembagaan pelaku, dan peningkatan
penerapan teknologi berbasis riset dan pengembangan(Sustainable Agriculture and Food Systems of the Sustainable Development
Solutions Network, 2013).
Sumber : World Resource Institute (2018)
Gambar 1.1. Distribusi komposisi perkebunan menurut
jenis yang dikelola
pada tujuh
negara utama
Perkebunan
di Indonesia – dengan itu – akan memberi kedudukan barunya, sehingga keberadaannya
bukan semata sebagai sumber devisa ekspor berbasis bahan ba ku industri
internasional. Catatan yang memberikan penguatan hal ini rinci disajikan Hazell
and Wood (2008), yang menegaskan perubahan perubahan pertanian secara global
bahkan tidak saja dalam skala internasional (global scale drive) tetapi juga
oleh skala nasional (country scale drivers) dan skala lokal (local scale
drivers). Penurunan drastis pengelolaan kakao skala perusahaan perkebunan
misalnya, dalam banyak hal dipengaruhi oleh skala nasional karena meningkatnya
upah pekerja yang disyaratkan pemerintah, demikian juga penurunan harga karet
internasional dalam lebih 10 tahun ini menjadikan terjadinya penurunan luas
pengelolaan tanaman tersebut dalam berbagai skala pengelolaan (perusahaan
maupun petani). Saat produksi pertanian pada kebanyakan negara Asia, Afrika dan Latin Amerika lebih beragam dan lebih
bersifat intensif tenaga kerja, spesialisasi, mekanisasi, dan perubahan
teknologi menaikkan produksi seperti kedele dan tebu di Brasilia, gandum dan
padi di China dan India, kelapa sawait di Indonesia dan petani Malaysia yang
secara tipikal menolak resiko(saat resiko terjadi, misalnya, petani
mengetahui sejumlah kemungkinan). Adanya
sejumlah perbedaan jenis resiko, termasuk resiko harga (misalnya resiko harga
dimana mereka menerima untuk output yang lebih tinggi atau lebih rendah
dibandingkan yang diterima rata rata), resiko hasil (misalnya resiko dimana H
dan P atau kekeringan akan menyebabkan hasil
lebih rendah), resiko input (misalnya
keterbatasan air atau keterbatasan
tenaga kerja pada titik kritis pada proses produksi), dan jenis resiko lainnya
( misalnya, adanya anggota keluarga yang sakit, kerusakan traktor). Banyak dari
jenis resiko ini (misalnya resiko harga, produksi) ada yang secara langsung
mempengaruhi resiko profit.
Hakikinya, dalam konteks
yang lebih luas, perkebunan di Indonesia juga harus mampu memberikan layanan
ekologi (ecological services) yakni
berkontribusi dalam perbaikan dn dipertahankanya mutu lingkungan. Aspek carbon
trading misalnya, potensial untuk diterapkan pada tanaman perkebunan yang
dikelola dengan sangat luas di Indonesia. Keberadaan perkebunan kita belum
menempatkan perkebunan dalam konteks ini.
Gambar 2 secara diagram menjelaskan alur yang ideal dari penerapan
pertanian – termasuk perkebunan – yang juga memfungsikan keberadaannya dalam ecological services.
Ada 3 hal yang paling penting dari multiple cropping :
1.
Mengurangi konsumsi air dan pupuk
2.
Mengurangi penggunaan pestisida
3.
Mengurangi dampak lingkungan
Model ini menerapkan sejumlah input sintetik, penerapan
yang bergabung untuk memperkaya biodiversitas dan layanan lingkungan pada
lokal, regional dan skala global, dan memberikan manfaat ke implikasi sosial
dan praktek produksi, dinamika pasar, dan diversitas produk. Di alam visi ini,
Diversified Farming System (DFS) sudah tumbuh sebagai model yang menggabungkan
fungsi biodiversitas pada skala multitemporal
dan spasial untuk menata layanan lingkungan kritis terhadap produksi
pertanian. Lebih jauh lagi, areal yang
diperoleh yang sesuai hanya untuk penanaman tunggal menurun, sedangkan areal
yang sesuai untuk triple cropping menaik secara signiikan dari 1960an ke 200on.
Dalam kurun waktu analisis, potential multple cropping index (PMCI) gap antara
areal hujan dan skenario irigasi menaik dari 18% menjadi 24%. Yang paling
signifikan diperoleh dalam kurun waktu itu adalah
1.5. Tinjauan singkat kasus
multikultur pada tanaman perkebunan
Dalam skala usaha tani, pengelolaan tumpang sari padi
darat pada gawangan karet memang memerlukan biaya yang tidak sedikit, untuk menjamin pertumbuhan
padi yang ideal. Analisis yang dilakukan oleh Siregar, Hutapea dan Astuti
(2018) menunjukkan komponen biaya pada pengelolaan tanaman padi pada gawangan
karet dapat dilihat pada Tabel 1.3.
Dari tabel yang disajikan dapat dilibat bahwa komponen
terbesar adalah upah tenaga kerja. Dalam kontek pekebun karet rakyat, upah
dapat dimodifikasi sehingga dari uraian yang disajikan Siregar, Hutapea dan
Astuti (2018), aspek teknologi perlu disajikan sebagai paket teknologi yang
juga mempertimbangkan biaya. Dengan itu, penanaman padi darat pada gawangan
karet tidak saja bertujuan untuk ketahanan pangan, tetapi juga memberikan
keuntungan ekonomi.
Tabel 1.3. Komponen biaya dalam pengelolaan tahun pertama tanaman padi
pada gawangan karet
Komponen biaya
|
Rp
|
Remarks
|
%
|
Material
|
|||
Benih padi (ha)
|
250.000
|
1,08
|
|
Bibit karet (ha)
|
250.000
|
a Rp.7.500
|
1,08
|
Pupuk awal
padi (ha)
|
345.000
|
a Rp.11.500, 30 kg
|
1,49
|
Pupuk awal karet (ha)
|
115.000
|
a Rp.11.500, 10 kg
|
0,50
|
Subtotal
|
960.000
|
4,13
|
|
Peralatan
|
|||
Mesin air 1 unit
|
3.500.000
|
15,07
|
|
Pipa plastik untuk distribusi
air
|
1.200.000
|
5,17
|
|
Subtotal
|
4.700.000
|
20,24
|
|
Upah
|
|||
Pemupukan
|
340.000
|
a Rp.85.000, 4 hari
|
1,46
|
Penanaman padi (ha)
|
1.190.000
|
a Rp.85.000, 14 hari
|
5,12
|
Penanaman karet(ha)
|
850.000
|
aRp.85.000, 10 hari
|
3,66
|
Pengendalian gulma dan
penyiraman padi (ha)
|
2.550.000
|
a Rp.85.000, 30 hari
|
10,98
|
Pengedalian gulma dan
penyiraman padi (ha)
|
850.000
|
a Rp.85.000, 10 hari
|
3,66
|
Subtotal
|
5.780.000
|
24,89
|
|
Lain lain
|
170.000
|
a Rp.85.000
|
0,73
|
11.610.000
|
|||
Total
|
23.220.000
|
Sumber :Siregar,Hutapea dan Astuti (2018)
Penelitian terhadap penerapan
polikultur dengan tanaman semusim yang variatif di desa Pangkul (Kabupaten
Prabumulih, Sumsel) membuktikan bahwa pengelolaan tanaman semusim maupun
pengelolaan bibit karet pada areal TBM karet memberikan pendapatan yang berarti
bagi pekebun karet rakyat, sebagaimana disajikan pada Tabel 1.4.
Tabel 1.4. Analisis input-output
per ha tanaman sela karet selama 3 tahun
Jenis tanaman
|
Produksi rata-rata (kg/ha)
|
Satuan
(unit)
|
Harga jual per satuan
(Rp)
|
Biaya
(Rp/ha)
|
Penerimaan (Rp/ha)
|
Pendapatan
(Rp/ha)
|
R/C ratio
|
Cabai
|
8.000
|
kg
|
15.000
|
68.782.000(59)
|
120.000.000
|
51.218.000(20)
|
1,7
|
Bibit karet
|
9.800
|
Stump
|
2.000
|
15.664.000(13)
|
19.600.000
|
3.936.000(2)
|
1,3
|
Tomat kecil
|
72.000
|
kg
|
2.500
|
10.335.000(9)
|
180.000.000
|
169.665.000(67)
|
17,4
|
Terong
|
25.000
|
kg
|
2.000
|
22.298.300(19)
|
50.000.000
|
27.701.700(11)
|
2,2
|
Total
|
|
|
|
117.079.300(100)
|
369.600.000
|
252.520.700
|
|
Sumber :Agustina et.al ( 2015)
Angka dalam kurung adalah persen(%)
Teknologi budidaya ini
merupakan jawaban terhadap perolehan pekebun rakyat saat tanaman karet masih
pada tahap TBM. Secara sosiopsikologis, pekebun akan tetap intensif merawat
kebunnya saat proyeksi harga karet tidak menguntungkan, sebagaimana yang
terjadi saat ini. Pengamatan empiris menunjukkan bahwa saat harga karet rendah,
pengelolaan TBM hampir tidak dilakukan karena proyeksi harga jual bokar yang
rendah. Pola tumpang sari tanaman semusim akan menstimulasi pekebun intensif mengelola lahan yang juga
berkonsuekuensi terhadap pengelolaan TBM.
Analisis pembiayaan menunjukkan
skema pola tanam monoklutur dan polikultur dengan tanaman semusim dapat dilihat
pada Tabel 1.4.
Tabel 1.5. Perhitungan pokok dan
tingkat pinjaman/bunga kredit untuk pemeliharaan tanaman karet selama TBM 1- 5 dan dengan usaha tanaman sela TBM 1 -3
Tahun
|
Kredit pemeliharaan TBM (Rp/ha)
|
Kredit pemeliharaan TBM dan tanaman sela
padi+jagung TBM 1- 3
|
||||
Pinjaman
|
Bunga pinjaman
|
Total pinjaman
|
Pinjaman
|
Bunga pinjaman
|
Total pinjaman
|
|
1
|
3.001.000
|
1.721.132
|
9.393.132
|
13.116.000
|
7.522.280
|
25.308.280
|
2
|
7.656.000
|
4.390.864
|
12.046.864
|
17.771.000
|
10.192.013
|
27.963.013
|
3
|
6.198.000
|
3.554.673
|
9.752.673
|
16.313.000
|
9.355.821
|
25.668.821
|
4
|
7.092.000
|
4.067.399
|
11.159.399
|
7.092.000
|
4.067.399
|
11.159.399
|
5
|
7.176.000
|
4.115.575
|
11.159.399
|
7.176.000
|
4.115.575
|
11.291.575
|
Sumber : Hendratmo et al (2015)
Komentar