Kakao
Sebagai salah satu
komoditas andalan Indonesia, kakao mempunyai peran strategis dalam perekonomian
Indonesia, salah satunya sebagai penyumbang devisa negara peringkat ketiga di
sektor perkebunan. Pada tahun 2012, komoditas kakao telah menyumbang devisa sebesar
USD 1.053.446.947 (1,053 Milyar) dari
ekspor biji kakao dan produk kakao olahan(
). Seperti diketahui kakao
merupakan komoditas perkebunan strategis, total ekspornya mencapai 1,2 Milyar USD. Data
Kementerian Pertanian memperlihatkan bahwa luas perkebunan kakao mencapai 1,7
hektar dan berkontribusi bagi 1,7 juta kepala keluarga. Sektor ini merupakan
salah satu sektor kunci yang diharapkan dapat berkontribusi terhadap pendapatan
negara, menyediakan lapangan kerja, dan mendukung industri kakao yang ada di
Indonesia. Rapat persiapan ini juga dimaksudkan untuk mempersiapkan World Cocoa
Conference 5 (WCC) tahun 2020 yang rencananya akan dilaksanakan di Bali.
Komoditas
kakao yang dibudidaya petani tak hanya diminati pasar lokal. Peluang ekspor
komoditas kakao ke sejumlah negara seperti Eropa, Amerika Serikat (AS), Asia
(Singapura dan Malaysia), dan sejumlah negara lain cukup besar. Bahkan,
sejumlah petani kakao di sejumlah daerah yang merintis usahanya dengan sistem
korporasi pada tahun ini sudah mulai ekspor ke Timur Tengah, Prancis dan
Belanda.
Walaupun saat ini
Indonesia berada diurutan ketiga sebagai produsen biji kakao dunia setelah Pantai
Gading dan Ghana, namun Indonesia masih
memiliki tanah yang luas dan subur yang terbentang dari Sabang sampai Merauke,
yang sangat cocok untuk ditanami kakao. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin
dalam beberapa tahun kedepan Indonesia bisa melewati posisi Pantai Gading untuk
menjadi produsen biji kakao terbesar di dunia (Hari Kakao Indonesia, 2013)
Beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam
rangka hilirisasi industri guna meningkatkan nilai tambah di dalam negeri
terbukti sangat efektif dalam pengembangan industri kakao di Indonesia. Sejak
pemerintah mengeluarkan kebijakan Bea Keluar atas ekspor biji kakao melalui
Peraturan Menteri Keuangan No 67/PMK.011/2010 pada 1 April 2010 lalu, industri kakao nasional
menggeliat, terbukti dengan semakin menurunnya volume ekspor biji kakao,
sementara ekspor kakao olahan terus mengalami peningkatan. Jumlah industri
kakao yang pada tahun 2010 hanya 7 perusahaan, saat ini bertambah menjadi 17
perusahaan. Setelah pemberlakuan Bea Keluar (tahun 2010-2012), biji kakao yang
diekspor menurun dalam kurun waktu 3 tahun yaitu sebesar 163.501 ton tahun
2012, menurun dibandingkan tahun 2011 sebesar 210.067 ton dan sebesar 432.437
ton tahun 2010. Sebaliknya, volume ekspor produk olahan kakao meningkat dari
tahun 2010 sebesar 119.214 ton, naik pada tahun 2011 menjadi 195.471 ton dan
pada tahun 2012 mencapai 215.791 ton(Hari Kakao Indonesia, 2013).
Kebijakan Bea Keluar atas ekspor biji kakao ini juga memberikan semangat kepada
industri kakao dan cokelat Indonesia. Proyeksi lima
tahun kedepan diperkirakan jumlah pabrik pengolahan kakao sebesar
16 unit usaha tahun 2012 akan tumbuh
menjadi 20 unit usaha. Kapasitas
terpasang dari 660.000 ton/tahun pada 2012, diharapkan menjadi 950.000
ton/tahun.
Untuk mendukung hilirisasi industri yang merupakan
program Kementerian Perindustrian, pemerintah juga memberikan fasilitas Tax Allowance dalam PP No. 52 Tahun 2011 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan / di
Daerah-Daerah Tertentu, serta pemberian
Tax Holiday bagi industri pengolahan
kakao di daerah tertentu melalui PMK No. 130 Tahun 2011 tentang Pemberian
Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan.
Penerapan SNI (Standar Nasional Indonesia) Wajib untuk
kakao bubuk melalui Peraturan Menteri Perindustrian No. No. 45 /M-IND/PER/5/2009 jo No. 60/M-IND/PER/6/2010 tentang
pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Kakao Bubuk Secara Wajib untuk
menjaga kualitas dan mutu bubuk kakao yang beredar di dalam negeri, serta
program hilirisasi diproyeksikan mampu
mengangkat industri kakao nasional untuk dapat bersaing.
Saat ini, pertumbuhan permintaan kakao dunia sekitar 4
juta ton per tahun. Data International Cocoa Organization (ICCO) menyatakan
bahwa dalam lima tahun terakhir,
permintaan tumbuh rata-rata 5% per tahun. Kedepan, komoditi kakao ini masih sangat
potensial untuk dikembangkan dimana tingkat konsumsi kakao di tiga negara yaitu
Indonesia, India dan China yang jumlah penduduknya mencapai 2,7 milyar jiwa,
masih sangat rendah yakni hanya sekitar 0.25 kg/kapita/tahun. Bandingkan
dengan tingkat konsumsi di Eropa sudah mencapai 10 kg/kapita/tahun.
Diprediksi, konsumsi kakao di tiga negara yaitu
Indonesia, India dan China dapat mencapai 1 kg/kapita/tahun sehingga akan ada
permintaan tambahan sekitar 2,2 juta ton biji kakao per tahun. Beberapa
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terbukti sangat efektif dalam
menumbuhkembangkan industri kakao di Indonesia. Dengan banyaknya industri yang
melakukan ekspansi dan banyaknya investor asing yang masuk membangun pabrik di
Indonesia, diharapkan
Indonesia akan menggeser posisi Belanda dan Jerman dan sekaligus menjelma
menjadi produsen kakao olahan terbesar di dunia.
Kepentingan Indonesia untuk komoditi kakao akan diperjuangkan pada The
99th Meetings of The International Cocoa Council and Its Subsidiary Bodies and
6th Meetings of The Working Group on Review of The International Cocoa
Agreement tanggal 8 – 12 April 2019 nanti di Abijan, Pantai Gading.
Delegasi Indonesia pada forum tersebut akan dipimpin oleh Dr. Tri Purnajaya,
Direktur Perdagangan Komoditas, dan Kekayaan Intelektual Kementerian Luar
Negeri. Untuk mempersiapkan diplomasi tersebut Direktorat Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Perkebunan melakukan rapat persiapan dalam rangka The
99th Meetings of The International Cocoa Council and Its Subsidiary Bodies and
6th Meetings of The Working Group on Review of The International Cocoa
Agreement di Bogor tanggal 25 Maret 2019. Sebagaimana diketahui bahwa
Indonesia merupakan salah satu anggota organisasi kakao International,
International Cocoa Organization (ICCO). Pada diplomasi internasional kakao
nanti akan dibahas isu penting kakao salah satunya Indonesia akan
menolak proposal Eropa yang secara khusus mengaitkan isu deforestrasi
sektor kakao.
Ekspor komoditas kakao pada
umumnya berupa produk setengah jadi, seperti cocoa butter, cocoa powder, dan
cocoa cake. Namun, ada sebagian yang masih dalam bentuk raw material. Produksi kakao saat ini rata-rata
400 ribu ton/tahun. Sedangkan, kebutuhan untuk industri olahan di dalam
negeri sebanyak 780 -800 ribu ton/tahun. Tercatat, Indonesia pada tahun
2018 impor kakao sebanyak 249 ton. Seperti petani kako Lampung saat ini
rata-rata bisa memproduksi kakao sebanyak 150 ton/bulan, DIY (Gunung
Kidul dan Kulon Ptogo) sekitar 200 ton/bulan, Jatim 100 ton/bulan, dan Bali 50
ton/bulan. Mengingat, suplai biji kako dari sejumlah petani belum cukup untuk
memenuhi kapasitas industri olahan kakao di dalam negeri.
Kopi
Komoditas kopi adalah salah satu ekspor andalan pada sektor pertanian
tanaman
tahunan. Pada periode 2011–2015 pertumbuhan nilai ekspor komoditas kopi cenderung
berfluktuatif. Perkembangan ekspor komoditas ini cenderung melambat yang dikarenakan
diberlakukannya sistem kuota, serta banyaknya negara saingan terutama negara-negara
Amerika Latin dan Afrika. Pada tahun 2013, 2014, dan 2016 ekspor komoditas ini
mengalami penurunan nilai berturut-turut sebesar 6,24 persen, 11,62 persen, dan 15,88
persen. Namun di tahun 2011, 2012, 2015 dan 2017 ekspor komoditas ini menunjukkan
peningkatan sebesar 27,37 persen, 20,21 persen, 15,41 persen dan 17,47 persen.
Apabila dilihat dari sisi berat, ekspor komoditas kopi mengalami penurunan pada
tahun 2011, 2014, dan 2016. Peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2015 sebesar 30,51
persen dan beratnya mencapai 499,6 ribu ton. Tahun 2017 negara tujuan utama ekspor
kopi Indonesia adalah Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Malaysia, Italia, dan Rusia. Nilaiekspor kopi ke Amerika Serikat adalah US$256,4 juta atau turun sebesar 5,00 persen jika dibandingkan pada tahun 2016, diikuti Jerman sebesar US$104,0 juta atau naik sebesar
15,30 persen.
tahunan. Pada periode 2011–2015 pertumbuhan nilai ekspor komoditas kopi cenderung
berfluktuatif. Perkembangan ekspor komoditas ini cenderung melambat yang dikarenakan
diberlakukannya sistem kuota, serta banyaknya negara saingan terutama negara-negara
Amerika Latin dan Afrika. Pada tahun 2013, 2014, dan 2016 ekspor komoditas ini
mengalami penurunan nilai berturut-turut sebesar 6,24 persen, 11,62 persen, dan 15,88
persen. Namun di tahun 2011, 2012, 2015 dan 2017 ekspor komoditas ini menunjukkan
peningkatan sebesar 27,37 persen, 20,21 persen, 15,41 persen dan 17,47 persen.
Apabila dilihat dari sisi berat, ekspor komoditas kopi mengalami penurunan pada
tahun 2011, 2014, dan 2016. Peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2015 sebesar 30,51
persen dan beratnya mencapai 499,6 ribu ton. Tahun 2017 negara tujuan utama ekspor
kopi Indonesia adalah Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Malaysia, Italia, dan Rusia. Nilaiekspor kopi ke Amerika Serikat adalah US$256,4 juta atau turun sebesar 5,00 persen jika dibandingkan pada tahun 2016, diikuti Jerman sebesar US$104,0 juta atau naik sebesar
15,30 persen.
Secara umum, harga kopi di Indonesia cenderung meningkat, dengan rata-rata peningkatan sebesar 4,98% per tahun. Dua tahun terakhir harga kopi per kilogramnya
terus meningkat, meningkat sebesar 10,24% di tahun 2014 (harga tahun 2013
sebesar Rp. 15.884,- menjadi Rp. 17.510,- di tahun 2014), dan
meningkat 9,28% di tahun 2015 menjadi Rp. 19.135. Jika pada tahun 1980 volume ekspor kopi Indonesia sebesar 238.677 ton dengan
nilai ekspor sebesar US$ 656 juta, maka tahun 2015 volume ekspor
meningkat menjadi 502.021 ton atau senilai US$ 1.198 juta. produksi kopi Indonesia tahun 2014 tercatat sebesar
643.857 ton. Produksi ini berasal dari 1.230.495 ha luas areal
perkebunan kopi dimana 96,19% diantaranya
diusahakan oleh rakyat (PR) sementara sisanya diusahakan oleh perkebunan besar milik swasta (PBS) sebesar 1,99% dan perkebunan besar milik negara (PBN) sebesar 1,82%.
Jika dilihat dari jenis kopi yang diusahakan, maka kopi
robustamendominasi produksi kopi Indonesia di tahun 2014. Dari 643.857 ton
produksi kopi Indonesia, sebanyak 73,57% atau 473.672 ton adalah
kopi robusta sementara sisanya sebanyak 26,43%
atau 170.185 ton adalah kopi arabika. Sentra produksi kopi robusta di Indonesia pada tahun 2014 adalah Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Jawa Timur, dan Sumatera Barat. Adapun
sentra produksi kopi arabika di tahun yang sama terdapat di Provinsi
Sumatera Utara, Aceh, Sulawesi Selatan,
Sumatera Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Harga kopi tahun 2015 di pasar domestik Indonesia rata-rata adalah Rp.19.135 per kg,
sedangkan tingkat konsumsi kopi pada tahun 2015 berdasarkan hasil
SUSENAS yang dilakukan oleh BPS mencapai 0,896
kg/kapita/tahun. Berdasarkan data USDA, di antara negara-negara kawasan
ASEAN, Indonesia dikenal sebagai produsen dan eksportir kopi
terbesar kedua setelah Vietnam. Namun demikian,
Indonesia adalah importir kopi terbesar keempat di ASEAN setelah Filipina,Malaysia,dan Thailand. Di dunia, Indonesia tercatat sebagai penghasil kopi terbesar keempat setelah Brazil,
Vietnam,dan Kolombia. Tetapi dalam hal ekspor
kopi, Indonesia adalah eksportir kopi terbesar keempat di dunia setelah Brazil, Vietnam, dan Kolombia.
Tabel 1.6. Produksi kopi Negara Asean 2009 -2013
Negara
|
Produksi (kg/ha)
|
|||||
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
Rata rata
|
|
Vietnam
|
2085
|
2160
|
2347
|
2734
|
2499
|
2365
|
Malaysia
|
817
|
786
|
2930
|
2438
|
2925
|
1979
|
Laos
|
878
|
915
|
950
|
1535
|
1548
|
1165
|
Thailand
|
963
|
851
|
821
|
847
|
980
|
892
|
Kamboja
|
833
|
850
|
832
|
849
|
920
|
857
|
Philipina
|
786
|
779
|
740
|
741
|
672
|
744
|
Indonesia
|
734
|
779
|
702
|
745
|
739
|
740
|
Myanmar
|
670
|
676
|
694
|
667
|
660
|
673
|
Asean
|
963
|
981
|
1020
|
1217
|
1161
|
1068
|
Sumber : Pusdatin ( )
Hal ini dapat dilihat pada luas areal untuk kopi PR (Perkebunan Rakyat) dari tahun 1980 hingga 2016, berimpit dengan luas areal kopi Indonesia. Luas areal kopi di Indonesia pada periode 1980-2016 cenderung
mengalami peningkatan. Jika pada tahun 1980 luas areal kopi
Indonesia hanya mencapai 707.464 ha, maka pada tahun 2016, luas areal
kopi Indonesia meningkat menjadi 1.233.294 ha atau meningkat sebesar
74,33%. Meskipun demikian, rata-rata laju pertumbuhan luas areal
kopi di Indonesia periode 1980-2016 tidak terlalu tinggi,
rata-rata hanya meningkat sebesar 1,61% per tahun atau bertambah 14.212
ha per tahun .Meskipun demikian
terlihat bahwa luas areal kopi robusta
cenderung menurun
sementara luas areal kopi arabika cenderung meningkat. Pada tahun 2001, luas areal kopi robusta di Indonesia mencapai 1.232.551 ha dan tahun 2016 menjadi 912.135 ha
atau terjadi penurunan sebesar 26,00% dibandingkan luas areal pada
tahun 2001. Sementara luas areal kopi arabika pada tahun 2001 hanya
mencapai 82.807 ha, kemudian luasan ini meningkat sebesar 287,84%
pada tahun 2016 menjadi 321.158 ha.
Produktivitas kopi di Indonesia terlihat berfluktuasi
pada periode 2003-2012, namun selanjutnya cenderung mengalami
stagnasi Fluktuasi sangat kelihatan
terutama pada perkebunan besar swastadan perkebunan besar negara. Meskipun
demikian, pertumbuhan
produktivitas kopi di Indonesia pada periode 2003-2016 tidak mengalami perubahan signifikan. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya luas tanaman menghasilkan yang erakibat pada peningkatan produksi kopi. Pada tahun 2003, produktivitas kopi di Indonesia encapai 725 kg/ha dan menurun 0,41% di tahun 2016 menjadi 722 kg/ha.
produktivitas kopi di Indonesia pada periode 2003-2016 tidak mengalami perubahan signifikan. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya luas tanaman menghasilkan yang erakibat pada peningkatan produksi kopi. Pada tahun 2003, produktivitas kopi di Indonesia encapai 725 kg/ha dan menurun 0,41% di tahun 2016 menjadi 722 kg/ha.
Sentra produksi kopi robusta perkebunan rakyat di Indonesia secara
rata-rata tahun
2012-2016 terpusat di 5 provinsi dengan kontribusi sebesar 74,13% terhadap produksi kopi robusta Indonesia. Provinsi Sumatera Selatan merupakan provinsi sentra dengan kontribusi tertinggi yaitu sebesar 28,40%, dengan kata lain setiap tahun Provinsi Sumatera Selatan ratarata menghasilkan kopi robusta sebesar 137.780 ton. Provinsi Lampung di urutan kedua dengan kontribusi sebesar 23,55% atau rata-rata produksi per tahun sebesar 114.280 ton. Produksi kedua provinsi ini secara total menyumbang 51,95% dari produsi kopi robusta di Indonesia. Provinsi penghasil kopi robusta terbesar lainnya adalah Bengkulu berkontribusi sebesar 11,26% dengan rata-rata produksi mencapai 54.648 ton setiap tahun, Jawa Timur berkontribusi sebesar 7,38% dengan rata-rata produksi 35.814 ton per tahun, dan Sumatera Barat berkontribusi sebesar 3,54% dengan rata-rata produksi 17.175 ton per tahun
2012-2016 terpusat di 5 provinsi dengan kontribusi sebesar 74,13% terhadap produksi kopi robusta Indonesia. Provinsi Sumatera Selatan merupakan provinsi sentra dengan kontribusi tertinggi yaitu sebesar 28,40%, dengan kata lain setiap tahun Provinsi Sumatera Selatan ratarata menghasilkan kopi robusta sebesar 137.780 ton. Provinsi Lampung di urutan kedua dengan kontribusi sebesar 23,55% atau rata-rata produksi per tahun sebesar 114.280 ton. Produksi kedua provinsi ini secara total menyumbang 51,95% dari produsi kopi robusta di Indonesia. Provinsi penghasil kopi robusta terbesar lainnya adalah Bengkulu berkontribusi sebesar 11,26% dengan rata-rata produksi mencapai 54.648 ton setiap tahun, Jawa Timur berkontribusi sebesar 7,38% dengan rata-rata produksi 35.814 ton per tahun, dan Sumatera Barat berkontribusi sebesar 3,54% dengan rata-rata produksi 17.175 ton per tahun
Komoditas kopi penanganan secara organik memperoleh respons besar dari
pasar ekspor, dimana pesanan calon pembeli dari Tiongkok, Jepang, dan Amerika
Serikat sudah muncul menjelang musim panen kopi di Jawa Barat tahun 2019 ini.
Pesanan tersebut juga muncul kepada panenan kopi organik Gunung Halu di
Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat yang kini bersiap masa panen. Ketua Gabungan Kelompok Tani KSM Preanger Specialty, Desa Mekarwangi,
Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat, Asep Sukmana, di Sindangkerta,
Kamis 25 April 2019, menyebutkan, pesanan kopi organik kepada kelompok tani ini
dari ketiga negara tersebut, menunjukan bahwa pasar kopi organik memang sangat
diminati pada pasar ekspor. Pesanan tersebut muncul dari Shanghai (Tiongkok),
Jepang, dan Amerika Serikat dimana peminat kopi organik pada ketiga negara itu
sangat besar. Hanya saja para calon pembeli tersebut mensyaratkan adanya sertifikat
organik yang dimiliki kelompok tani yang mengusahakannya. Khusus di Gapoktan
KSM Preanger Specialty ini, juga sedang menunggu pemberian sertifikat organik
dari lembaga terkait, untuk memuluskan pasar ekspor ke Tiongkok, Jepang, dan
Amerika Serikat itu melalui perusahaan eksportirnya.
Di Kecamatan Sindangkerta terdapat areal khusus tanaman kopi organik yang
merupakan binaan Balai Perlindungan Perkebunan (BPP) Dinas Perkebunan Provinsi
Jawa Barat. Diketahui, pembinaan dan pengembangan produksi kopi organik di
Kecamatan Sindangkerta itu sudah dilakukan sejak dua tahun terakhir, dimana arealnya
kebanyakan berada pada kawasan hutan lindung Perum Perhutani Kesatuan
Pemangkuan Bandung Selatan.
Teh
Sebagai produsen teh dunia,
Indonesia pada tahun 2018 mampu ekspor komoditas teh sebanyak 49 ribu
ton. Ekspor komoditas teh tersebut paling banyak ditujukan ke Malaysia,
kemudian Rusia,Pakistan dan Jerman. Rata-rata produksi teh yang
dihasilkan dari sejumlah petani dan perusahaan BUMN 140 ribu ton/tahun. Bahan
baku teh sekitar 70% diproduk sejumlah petani teh Jawa Barat (Jabar). Sedangkan
sisanya sebanyak 30% dari petani Jawa Tengah, Jawa Timur,Sumatera Utara dan
Bengkulu.
Harga teh di pasar ekspor sampai
saat ini cukup bagus. Untuk black tea biasa US$ 1,7/kg, black tea
serbuk US$ 3,5 /kg, green tea US$ 2,5- 3 /kg dan yang berupa white tea Rp 1 juta-Rp
1,5 juta/kg. Darmadi juga menyebutkan, market share atau pangsa pasar ekspor
teh Indonesia saat ini tinggal 3%. Sebelumnya, market share kita di pasar dunia
sebesar 6%.
Komoditas teh Indonesia saat ini kalah dengan China, India, Kenya, Srilanka,
Turki, dan Vietnam. Saat ini, Indonesia berada pada posisi 7 dunia, di bawah Vietnam. Pesaing pasar teh Indonesia
adalah Vietnam berbasis pada harganya murah meskipun
berkualitas rendah. Tahun 1972/73 Indonesia
kita masih berjaya karena
produksi teh pada saat itu cukup banyak, sehingga eskpornya bisa mencapai 97
ribu ton/tahun. Selain ekspor, Indonesia juga mengimpor teh sebanyak 24 ribu
ton/tahun (2014-2015), dan saat ini sudah berkurang menjadi 14 ribu ton/tahun.
ekspor teh sejak beberapa tahun terakhir mengalami penurunan. Pada tahun
2014 ekspor teh tercatat sebanyam 66 ribu ton.Dua tahun berikutnya yakni pada
tahun 2016 turun menjadi 51 ribu ton, dan pada tahun 2018 ekspor teh turun lagi
menjadi 49 ribu ton
industri teh
dari hulu dan hilir juga perlu dukungan investasi. sekitar 10 pabrik teh yang
kapasitas terpasangnya 50 ton pucuk/hari tidak lagi
beroperasi.
Diperkirakan, produksi teh besar
kemungkinan akan turun. Penyebabnya, selain banyak tanaman sudah tua, musim
kemerau yang panjang juga menjadi penyumbangnya. Hampir dipastikan, dengan
turunnya produksi teh petani akan berdampak terhadap menurunnya ekspor Di
tingkat kosumen perlu edukasi cara minum teh yang sehat. Sebab, komsumsi teh
masyarakat Indonesia hanya 350 gram/kapita/tahun atau sekitar 1 cangkir/hari
Idealnya 4 cangkir/hari atau 500 gram/kapita/tahun. Konsumsi teh kita jauh dengan
masyarakat Inggris 1,5 kg/kapita/tahun dan China lebih dari 1,1 kg/kapita/tahun
Sebagaimana data BPS, ekspor komoditas perkebunan ke Mesir sebesar 990,4
ribu ton dengan nilai ekspor mencapai USD 673,7 juta. Dari data volume ekspor
tersebut 94% ekspor Indonesia ke Mesir berupa kelapa Sawit sedangkan untuk
komoditas teh diekspor sebesar 199,6 ton berupa teh hitam dan teh hijau dengan
nilai mencapai USD 415,2 ribu dan sampai dengan semester 1 tahun 2019 ekspor
teh Indonesia sebesar 20 ton.
Saat ini, Badawy & Sons Co terus memimpin kategori teh secara
keseluruhan di pasar Mesir, melalui merek El Arosa, dengan produk utama teh
hitam. El Arosa diuntungkan dari keterjangkauan dan jaringan distribusi yang
luas, yang menjangkau daerah pedesaan Mesir. Tetapi dengan semakin meningkatnya
konsumsi teh dimesir dengan rata-rata peningkatan 5% per tahun utamanya dalam
mengisi pasar café-café dan supermarket maka akan menjadi peluang untuk teh
Indonesia untuk diekspor ke Mesir, utamanya aromatic tea, white tea dan black
tea.
Pemerintah mendorong Industri untuk pengembangan produk-produk baru teh
yang menjadi peluang untuk dikembangkan karena menawarkan alternative cita rasa
dan kandungan zat antioksidan yang lebih kaya untuk konsumen. pemerintah dengan program BUN500 juga turut berkontribusi untuk membantu
petani teh dalam penyediaan benih unggul dan bermutu sehingga dapat
meningkatkan produksi dan produktivitas teh nasional, juga tidak kalah penting
dari sisi kualitas dengan memperhatikan standar kualitas dari benih, panen,
pascapanen sampai pengolahan yang dibutuhkan negara pengimpor, pemerintah juga
mendorong pelaku usaha membuka peluang akses pasar di negara lain tentunya
pasar di negara yang beriklim subtropics-sedang-dingin.
Perlindungan
terhadap indikasi geografis memasuki babak baru dalam perkembangan dunia
internasional. Indonesia melalui Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian
Pertanian turut berpartisipasi aktif dalam simposium yang diikuti oleh 67
negara. Simposium Indikasi Geografis Internasional yang diinisiasi oleh World
Intelectual Property Organization (WIPO) dilaksanakan pada tanggal 2 sd 4 juli
2019 di Lisbon Portugal, pada kegiatan tersebut membahas isu-isu penting dalam
indikasi geografis Internasional antara lain tentang pergerakan penduduk,
perbedaan peraturan di tiap negara serta perbedaan kepentingan di masing-masing
negara.
Saat ini telah terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM, lebih dari 65 produk
indikasi geografis yang sebagian besar terdiri dari produk perkebunan antara
lain kopi, lada, pala, mete, kayu manis, dan tembakau. Direktorat Jenderal
Perkebunan Kementerian Pertanian memberikan dukungan penuh terhadap pembinaan
kelompok pemegang indikasi geografis dalam rangka peningkatan kesejahteraan
pekebun dan meningkatkan ekspor produk perkebunan.
Komentar