Langsung ke konten utama

BEBERAPA CATATAN PERIHAL KAKAO, KOPI DAN TEH


Kakao
Sebagai salah satu komoditas andalan Indonesia, kakao mempunyai peran strategis dalam perekonomian Indonesia, salah satunya sebagai penyumbang devisa negara peringkat ketiga di sektor perkebunan. Pada tahun 2012, komoditas kakao telah menyumbang devisa sebesar USD  1.053.446.947  (1,053 Milyar) dari ekspor biji kakao dan produk kakao olahan(   ). Seperti diketahui kakao merupakan komoditas perkebunan strategis, total ekspornya mencapai 1,2 Milyar USD. Data Kementerian Pertanian memperlihatkan bahwa luas perkebunan kakao mencapai 1,7 hektar dan berkontribusi bagi 1,7 juta kepala keluarga. Sektor ini merupakan salah satu sektor kunci yang diharapkan dapat berkontribusi terhadap pendapatan negara, menyediakan lapangan kerja, dan mendukung industri kakao yang ada di Indonesia. Rapat persiapan ini juga dimaksudkan untuk mempersiapkan World Cocoa Conference 5 (WCC) tahun 2020 yang rencananya akan dilaksanakan di Bali.
Komoditas kakao yang dibudidaya petani tak hanya diminati pasar lokal. Peluang ekspor komoditas kakao ke sejumlah negara seperti Eropa, Amerika Serikat (AS), Asia (Singapura dan Malaysia), dan sejumlah negara lain cukup besar. Bahkan, sejumlah petani kakao di sejumlah daerah yang merintis usahanya dengan sistem korporasi pada tahun ini sudah mulai ekspor ke Timur Tengah, Prancis dan Belanda.
Walaupun saat ini Indonesia berada diurutan ketiga sebagai produsen biji kakao dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, namun Indonesia  masih memiliki tanah yang luas dan subur yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, yang sangat cocok untuk ditanami kakao. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun kedepan Indonesia bisa melewati posisi Pantai Gading untuk menjadi produsen biji kakao terbesar di dunia (Hari Kakao Indonesia, 2013)
Beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka hilirisasi industri guna meningkatkan nilai tambah di dalam negeri terbukti sangat efektif dalam pengembangan industri kakao di Indonesia. Sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan Bea Keluar atas ekspor biji kakao melalui Peraturan Menteri Keuangan No 67/PMK.011/2010 pada 1 April 2010 lalu, industri kakao nasional menggeliat, terbukti dengan semakin menurunnya volume ekspor biji kakao, sementara ekspor kakao olahan terus mengalami peningkatan. Jumlah industri kakao yang pada tahun 2010 hanya 7 perusahaan, saat ini bertambah menjadi 17 perusahaan. Setelah pemberlakuan Bea Keluar (tahun 2010-2012), biji kakao yang diekspor menurun dalam kurun waktu 3 tahun yaitu sebesar 163.501 ton tahun 2012, menurun dibandingkan tahun 2011 sebesar 210.067 ton dan sebesar 432.437 ton tahun 2010. Sebaliknya, volume ekspor produk olahan kakao meningkat dari tahun 2010 sebesar 119.214 ton, naik pada tahun 2011 menjadi 195.471 ton dan pada tahun 2012 mencapai 215.791 ton(Hari Kakao Indonesia, 2013).
Kebijakan Bea Keluar atas ekspor biji kakao ini juga memberikan semangat kepada industri kakao dan cokelat Indonesia. Proyeksi  lima  tahun kedepan diperkirakan jumlah pabrik pengolahan kakao sebesar 16  unit usaha tahun 2012 akan tumbuh menjadi 20  unit usaha. Kapasitas terpasang dari 660.000 ton/tahun pada 2012, diharapkan menjadi 950.000 ton/tahun.
Untuk mendukung hilirisasi industri yang merupakan program Kementerian Perindustrian, pemerintah juga memberikan fasilitas Tax Allowance dalam  PP No. 52 Tahun 2011 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan / di Daerah-Daerah Tertentu, serta pemberian Tax Holiday  bagi industri pengolahan kakao di daerah tertentu melalui PMK No. 130 Tahun 2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan.
Penerapan SNI (Standar Nasional Indonesia) Wajib untuk kakao bubuk melalui Peraturan Menteri Perindustrian No. No. 45 /M-IND/PER/5/2009  jo No. 60/M-IND/PER/6/2010  tentang pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Kakao Bubuk Secara Wajib untuk menjaga kualitas dan mutu bubuk kakao yang beredar di dalam negeri, serta program hilirisasi  diproyeksikan mampu mengangkat industri kakao nasional untuk dapat bersaing.
Saat ini, pertumbuhan permintaan kakao dunia sekitar 4 juta ton per tahun. Data International Cocoa Organization (ICCO) menyatakan bahwa  dalam lima tahun terakhir, permintaan tumbuh rata-rata 5% per tahun. Kedepan, komoditi kakao ini masih sangat potensial untuk dikembangkan dimana tingkat konsumsi kakao di tiga negara yaitu Indonesia, India dan China yang jumlah penduduknya mencapai 2,7 milyar jiwa, masih sangat rendah yakni hanya sekitar 0.25 kg/kapita/tahun. Bandingkan dengan tingkat konsumsi di Eropa sudah mencapai 10 kg/kapita/tahun.
Diprediksi, konsumsi kakao di tiga negara yaitu Indonesia, India dan China dapat mencapai 1 kg/kapita/tahun sehingga akan ada permintaan tambahan sekitar 2,2 juta ton biji kakao per tahun. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terbukti sangat efektif dalam menumbuhkembangkan industri kakao di Indonesia. Dengan banyaknya industri yang melakukan ekspansi dan banyaknya investor asing yang masuk membangun pabrik di Indonesia, diharapkan Indonesia akan menggeser posisi Belanda dan Jerman dan sekaligus menjelma menjadi produsen kakao olahan terbesar di dunia.
Kepentingan Indonesia untuk komoditi kakao akan diperjuangkan pada The 99th Meetings of The International Cocoa Council and Its Subsidiary Bodies and 6th Meetings of The Working Group on Review of The International Cocoa Agreement  tanggal 8 – 12 April 2019 nanti di Abijan, Pantai Gading. Delegasi Indonesia pada forum tersebut akan dipimpin oleh Dr. Tri Purnajaya, Direktur Perdagangan Komoditas, dan Kekayaan Intelektual Kementerian Luar Negeri. Untuk mempersiapkan diplomasi tersebut Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan melakukan rapat persiapan dalam rangka The 99th Meetings of The International Cocoa Council and Its Subsidiary Bodies and 6th Meetings of The Working Group on Review of The International Cocoa Agreement di Bogor tanggal 25 Maret 2019. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu anggota organisasi kakao International, International Cocoa Organization (ICCO). Pada diplomasi internasional kakao nanti akan dibahas isu penting kakao salah satunya  Indonesia akan  menolak proposal Eropa yang secara khusus mengaitkan  isu deforestrasi sektor kakao.
Ekspor komoditas kakao pada umumnya berupa produk setengah jadi, seperti cocoa butter, cocoa powder, dan cocoa cake. Namun, ada sebagian yang masih dalam bentuk raw material.  Produksi kakao saat ini rata-rata 400 ribu ton/tahun.  Sedangkan, kebutuhan untuk industri olahan di dalam negeri sebanyak 780 -800 ribu ton/tahun. Tercatat, Indonesia pada tahun 2018 impor kakao sebanyak 249 ton. Seperti petani kako Lampung saat ini rata-rata bisa memproduksi kakao sebanyak 150 ton/bulan,  DIY (Gunung Kidul dan Kulon Ptogo) sekitar 200 ton/bulan, Jatim 100 ton/bulan, dan Bali 50 ton/bulan. Mengingat, suplai biji kako dari sejumlah petani belum cukup untuk memenuhi kapasitas industri olahan kakao di dalam negeri.

Kopi
Komoditas kopi adalah salah satu ekspor andalan pada sektor pertanian tanaman
tahunan. Pada periode 2011–2015 pertumbuhan nilai ekspor komoditas kopi cenderung
berfluktuatif. Perkembangan ekspor komoditas ini cenderung melambat yang dikarenakan
diberlakukannya sistem kuota, serta banyaknya negara saingan terutama negara-negara
Amerika Latin dan Afrika. Pada tahun 2013, 2014, dan 2016 ekspor komoditas ini
mengalami penurunan nilai berturut-turut sebesar 6,24 persen, 11,62 persen, dan 15,88
persen. Namun di tahun 2011, 2012, 2015 dan 2017 ekspor komoditas ini menunjukkan
peningkatan sebesar 27,37 persen, 20,21 persen, 15,41 persen dan 17,47 persen.
Apabila dilihat dari sisi berat, ekspor komoditas kopi mengalami penurunan pada
tahun 2011, 2014, dan 2016. Peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2015 sebesar 30,51
persen dan beratnya mencapai 499,6 ribu ton. Tahun 2017 negara tujuan utama ekspor
kopi Indonesia adalah Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Malaysia, Italia, dan Rusia. Nilai
ekspor kopi ke Amerika Serikat adalah US$256,4 juta atau turun sebesar 5,00 persen jika dibandingkan pada tahun 2016, diikuti Jerman sebesar US$104,0 juta atau naik sebesar
15,30 persen
.
Secara umum, harga kopi di Indonesia cenderung meningkat, dengan rata-rata peningkatan sebesar 4,98% per tahun. Dua tahun terakhir harga kopi per kilogramnya terus meningkat, meningkat sebesar 10,24% di tahun 2014 (harga tahun 2013 sebesar Rp. 15.884,- menjadi Rp. 17.510,- di tahun 2014), dan meningkat 9,28% di tahun 2015 menjadi Rp. 19.135.  Jika pada tahun 1980 volume ekspor kopi Indonesia sebesar 238.677 ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 656 juta, maka tahun 2015 volume ekspor meningkat menjadi 502.021 ton atau senilai US$ 1.198 juta. produksi kopi Indonesia tahun 2014 tercatat sebesar 643.857 ton. Produksi ini berasal dari 1.230.495 ha luas areal perkebunan kopi dimana 96,19% diantaranya diusahakan oleh rakyat (PR) sementara sisanya diusahakan oleh perkebunan besar milik swasta (PBS) sebesar 1,99% dan perkebunan besar milik negara (PBN) sebesar 1,82%.
Jika dilihat dari jenis kopi yang diusahakan, maka kopi robustamendominasi produksi kopi Indonesia di tahun 2014. Dari 643.857 ton produksi kopi Indonesia, sebanyak 73,57% atau 473.672 ton adalah kopi robusta sementara sisanya sebanyak 26,43% atau 170.185 ton adalah kopi arabika. Sentra produksi kopi robusta di Indonesia pada tahun 2014 adalah Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Jawa Timur, dan Sumatera Barat. Adapun sentra produksi kopi arabika di tahun yang sama terdapat di Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Harga kopi tahun 2015 di pasar domestik Indonesia rata-rata adalah Rp.19.135 per kg, sedangkan tingkat konsumsi kopi pada tahun 2015 berdasarkan hasil SUSENAS yang dilakukan oleh BPS mencapai 0,896 kg/kapita/tahun. Berdasarkan data USDA, di antara negara-negara kawasan ASEAN, Indonesia dikenal sebagai produsen dan eksportir kopi terbesar kedua setelah Vietnam. Namun demikian, Indonesia adalah importir kopi terbesar keempat di ASEAN setelah Filipina,Malaysia,dan Thailand. Di dunia, Indonesia tercatat sebagai penghasil kopi terbesar keempat setelah Brazil, Vietnam,dan Kolombia. Tetapi dalam hal ekspor kopi, Indonesia adalah eksportir kopi terbesar keempat di dunia setelah Brazil, Vietnam, dan Kolombia.
Tabel 1.6. Produksi kopi Negara Asean  2009 -2013

Negara
Produksi (kg/ha)
2009
2010
2011
2012
2013
Rata rata
Vietnam
2085
2160
2347
2734
2499
2365
Malaysia
817
786
2930
2438
2925
1979
Laos
878
915
950
1535
1548
1165
Thailand
963
851
821
847
980
892
Kamboja
833
850
832
849
920
857
Philipina
786
779
740
741
672
744
Indonesia
734
779
702
745
739
740
Myanmar
670
676
694
667
660
673
Asean
963
981
1020
1217
1161
1068
Sumber : Pusdatin (  )

Hal ini dapat dilihat pada luas areal untuk kopi PR (Perkebunan Rakyat) dari tahun 1980 hingga 2016, berimpit dengan luas areal kopi Indonesia. Luas areal kopi di Indonesia pada periode 1980-2016 cenderung mengalami peningkatan. Jika pada tahun 1980 luas areal kopi Indonesia hanya mencapai 707.464 ha, maka pada tahun 2016, luas areal kopi Indonesia meningkat menjadi 1.233.294 ha atau meningkat sebesar 74,33%. Meskipun demikian, rata-rata laju pertumbuhan luas areal kopi di Indonesia periode 1980-2016 tidak terlalu tinggi, rata-rata hanya meningkat sebesar 1,61% per tahun atau bertambah 14.212 ha per tahun .Meskipun demikian terlihat bahwa luas areal kopi robusta cenderung menurun sementara luas areal kopi arabika cenderung meningkat. Pada tahun 2001, luas areal kopi robusta di Indonesia mencapai 1.232.551 ha dan tahun 2016 menjadi 912.135 ha atau terjadi penurunan sebesar 26,00% dibandingkan luas areal pada tahun 2001. Sementara luas areal kopi arabika pada tahun 2001 hanya mencapai 82.807 ha, kemudian luasan ini meningkat sebesar 287,84% pada tahun 2016 menjadi 321.158 ha.
Produktivitas kopi di Indonesia terlihat berfluktuasi pada periode 2003-2012, namun selanjutnya cenderung mengalami stagnasi  Fluktuasi sangat kelihatan terutama pada perkebunan besar swastadan perkebunan besar negara. Meskipun demikian, pertumbuhan
produktivitas kopi di Indonesia pada periode 2003-2016 tidak
mengalami perubahan signifikan. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya luas tanaman menghasilkan yang erakibat pada peningkatan produksi kopi. Pada tahun 2003, produktivitas kopi di Indonesia encapai 725 kg/ha dan menurun 0,41% di tahun 2016 menjadi 722 kg/ha.
Sentra produksi  kopi robusta perkebunan rakyat di Indonesia secara rata-rata tahun
2012-2016 terpusat di 5 provinsi dengan kontribusi sebesar 74,13%
terhadap produksi kopi robusta Indonesia. Provinsi Sumatera Selatan merupakan provinsi sentra dengan kontribusi tertinggi yaitu sebesar 28,40%, dengan kata lain setiap tahun Provinsi Sumatera Selatan ratarata menghasilkan kopi robusta sebesar 137.780 ton. Provinsi Lampung di urutan kedua dengan kontribusi sebesar 23,55% atau rata-rata produksi per tahun sebesar 114.280 ton. Produksi kedua provinsi ini secara total menyumbang 51,95% dari produsi kopi robusta di Indonesia. Provinsi penghasil kopi robusta terbesar lainnya adalah Bengkulu berkontribusi sebesar 11,26% dengan rata-rata produksi mencapai 54.648 ton setiap tahun, Jawa Timur berkontribusi sebesar 7,38% dengan rata-rata produksi 35.814 ton per tahun, dan Sumatera Barat berkontribusi sebesar 3,54% dengan rata-rata produksi 17.175 ton per tahun
Komoditas kopi penanganan secara organik memperoleh respons besar dari pasar ekspor, dimana pesanan calon pembeli dari Tiongkok, Jepang, dan Amerika Serikat sudah muncul menjelang musim panen kopi di Jawa Barat tahun 2019 ini. Pesanan tersebut juga muncul kepada panenan kopi organik Gunung Halu di Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat yang kini bersiap masa panen. Ketua Gabungan Kelompok Tani KSM Preanger Specialty, Desa Mekarwangi, Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat, Asep Sukmana, di Sindangkerta, Kamis 25 April 2019, menyebutkan, pesanan kopi organik kepada kelompok tani ini dari ketiga negara tersebut, menunjukan bahwa pasar kopi organik memang sangat diminati pada pasar ekspor. Pesanan tersebut muncul dari Shanghai (Tiongkok), Jepang, dan Amerika Serikat dimana peminat kopi organik pada ketiga negara itu sangat besar. Hanya saja para calon pembeli tersebut mensyaratkan adanya sertifikat organik yang dimiliki kelompok tani yang mengusahakannya. Khusus di Gapoktan KSM Preanger Specialty ini, juga sedang menunggu pemberian sertifikat organik dari lembaga terkait, untuk memuluskan pasar ekspor ke Tiongkok, Jepang, dan Amerika Serikat itu melalui perusahaan eksportirnya.
Di Kecamatan Sindangkerta terdapat areal khusus tanaman kopi organik yang merupakan binaan Balai Perlindungan Perkebunan (BPP) Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat. Diketahui, pembinaan dan pengembangan produksi kopi organik di Kecamatan Sindangkerta itu sudah dilakukan sejak dua tahun terakhir, dimana arealnya kebanyakan berada pada kawasan hutan lindung Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Bandung Selatan.
Teh
Sebagai produsen teh dunia, Indonesia pada tahun 2018  mampu ekspor komoditas teh sebanyak 49 ribu ton. Ekspor komoditas teh tersebut paling banyak ditujukan ke Malaysia, kemudian Rusia,Pakistan dan Jerman. Rata-rata produksi teh yang dihasilkan dari sejumlah petani dan perusahaan BUMN 140 ribu ton/tahun. Bahan baku teh sekitar 70% diproduk sejumlah petani teh Jawa Barat (Jabar). Sedangkan sisanya sebanyak 30% dari petani Jawa Tengah, Jawa Timur,Sumatera Utara dan Bengkulu.
Harga teh di pasar ekspor sampai saat ini cukup  bagus. Untuk black tea biasa US$ 1,7/kg, black tea  serbuk US$ 3,5 /kg, green tea US$ 2,5- 3 /kg dan yang berupa white tea Rp 1 juta-Rp 1,5 juta/kg. Darmadi juga menyebutkan, market share atau pangsa pasar ekspor teh Indonesia saat ini tinggal 3%. Sebelumnya, market share kita di pasar dunia sebesar 6%.
Komoditas teh Indonesia saat ini kalah dengan China, India, Kenya, Srilanka, Turki, dan Vietnam. Saat ini, Indonesia berada pada posisi 7 dunia, di bawah Vietnam. Pesaing pasar teh Indonesia adalah Vietnam berbasis pada  harganya murah  meskipun berkualitas rendah. Tahun 1972/73 Indonesia kita masih berjaya karena produksi teh pada saat itu cukup banyak, sehingga eskpornya bisa mencapai 97 ribu ton/tahun. Selain ekspor, Indonesia juga mengimpor teh sebanyak  24 ribu ton/tahun (2014-2015), dan saat ini sudah berkurang menjadi 14 ribu ton/tahun.
ekspor teh sejak beberapa tahun terakhir mengalami penurunan. Pada tahun 2014 ekspor teh tercatat sebanyam 66 ribu ton.Dua tahun berikutnya yakni pada tahun 2016 turun menjadi 51 ribu ton, dan pada tahun 2018 ekspor teh turun lagi menjadi 49 ribu ton
industri teh dari hulu dan hilir juga perlu dukungan investasi. sekitar 10 pabrik teh yang kapasitas terpasangnya 50 ton pucuk/hari tidak lagi beroperasi.
Diperkirakan, produksi teh besar kemungkinan akan turun. Penyebabnya, selain banyak tanaman sudah tua, musim kemerau yang panjang juga menjadi penyumbangnya. Hampir dipastikan, dengan turunnya produksi teh petani akan berdampak terhadap menurunnya ekspor Di tingkat kosumen perlu edukasi cara minum teh yang sehat. Sebab, komsumsi teh masyarakat Indonesia hanya 350 gram/kapita/tahun  atau sekitar 1 cangkir/hari Idealnya 4 cangkir/hari atau 500 gram/kapita/tahun. Konsumsi teh kita jauh dengan masyarakat Inggris 1,5 kg/kapita/tahun dan China lebih dari 1,1 kg/kapita/tahun
Sebagaimana data BPS, ekspor komoditas perkebunan ke Mesir sebesar 990,4 ribu ton dengan nilai ekspor mencapai USD 673,7 juta. Dari data volume ekspor tersebut 94% ekspor Indonesia ke Mesir berupa kelapa Sawit sedangkan untuk komoditas teh diekspor sebesar 199,6 ton berupa teh hitam dan teh hijau dengan nilai mencapai USD 415,2 ribu dan sampai dengan semester 1 tahun 2019 ekspor teh Indonesia sebesar 20 ton.
Saat ini, Badawy & Sons Co terus memimpin kategori teh secara keseluruhan di pasar Mesir, melalui merek El Arosa, dengan produk utama teh hitam. El Arosa diuntungkan dari keterjangkauan dan jaringan distribusi yang luas, yang menjangkau daerah pedesaan Mesir. Tetapi dengan semakin meningkatnya konsumsi teh dimesir dengan rata-rata peningkatan 5% per tahun utamanya dalam mengisi pasar café-café dan supermarket maka akan menjadi peluang untuk teh Indonesia untuk diekspor ke Mesir, utamanya aromatic tea, white tea dan black tea.
Pemerintah mendorong Industri untuk pengembangan produk-produk baru teh yang menjadi peluang untuk dikembangkan karena menawarkan alternative cita rasa dan kandungan zat antioksidan yang lebih kaya untuk konsumen. pemerintah dengan program BUN500 juga turut berkontribusi untuk membantu petani teh dalam penyediaan benih unggul dan bermutu sehingga dapat meningkatkan produksi dan produktivitas teh nasional, juga tidak kalah penting dari sisi kualitas dengan memperhatikan standar kualitas dari benih, panen, pascapanen sampai pengolahan yang dibutuhkan negara pengimpor, pemerintah juga mendorong pelaku usaha membuka peluang akses pasar di negara lain tentunya pasar di negara yang beriklim subtropics-sedang-dingin.
Perlindungan terhadap indikasi geografis memasuki babak baru dalam perkembangan dunia internasional. Indonesia melalui Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian turut berpartisipasi aktif dalam simposium yang diikuti oleh 67 negara. Simposium Indikasi Geografis Internasional yang diinisiasi oleh World Intelectual Property Organization (WIPO) dilaksanakan pada tanggal 2 sd 4 juli 2019 di Lisbon Portugal, pada kegiatan tersebut membahas isu-isu penting dalam indikasi geografis Internasional antara lain tentang pergerakan penduduk, perbedaan peraturan di tiap negara serta perbedaan kepentingan di masing-masing negara.
Saat ini telah terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM, lebih dari 65 produk indikasi geografis yang sebagian besar terdiri dari produk perkebunan antara lain kopi, lada, pala, mete, kayu manis, dan tembakau. Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian memberikan dukungan penuh terhadap pembinaan kelompok pemegang indikasi geografis dalam rangka peningkatan kesejahteraan pekebun dan meningkatkan ekspor produk perkebunan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INDUKSI PERCABANGAN TANAMAN KARET

Pada tanaman karet muda sering dijumpai tanaman yang tumbuhnya meninggi tanpa membentuk cabang. Tanaman dengan pertumbuhan seperti ini pertumbuhan batangnya lambat sehingga terlambat mencapai matang sadap, selain itu bagian ujungnya mudah dibengkokan oleh angin, akibatnya akan tumbuh tunas cabang secara menyebelah, sehingga tajuk yang terbentuk menjadi tidak simetris. Keadaan cabang seperti ini akan sangat berbahaya karena cabang mudah patah bila diterpa angin kencang. Beberapa klon yang pada awal pertumbuhannya cenderung meninggi dan lambat bercabang, diantaranya adalah klon GT 1 dan RRIM 600. Induksi percabangan selain untuk memodifikasi bentuk tajuk tanaman juga bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan lilit batang tanaman. Ketinggian cabang yang dikehendaki umumnya 2.5-3 m dari pertautan okulasi. Bagi klon-klon yang pertumbuhan cabangnya lambat dan baru terbentuk di atas ketinggian tiga meter, perlu dilakukan perangsangan untuk mempercepat pembentukan cabang agar tajuk tanaman l

MENGOPTIMALKAN PRODUKSI KARET DENGAN SISTEM EKSLOPITASI BARU

Dalam 10 tahun terakhir ini, klon karet unggul sudah sangat variatif. Variasi itu misalnya klon unggul yang didasarkan atas manfaat penanamannya. Seperti diketahui, kayu karet semakin bernilai ekonomi sehingga bahkan penjualan kayunya sudah dapat digunakan untuk penanaman ulang (TU). Artinya, perkebunan karet memang semakin bernilai ekonomi, disamping keunggulannya sebagai tanaman perkebunan bernilai ekologis. Cermatilah gugur daun yang terjadi setiap tahun, merupakan perkayaan hara yang sangat tinggi bagi tanah. Demikian juga sistem perakarannya yang mampu memperbaiki sifat fisik tanah. Terdapat klon karet yang potensial sebagai penghasil kayu, lateks atau keduanya.             Disamping itu, klon karet berbeda-beda juga sifat metabolismenya. Perbedaan sifat metabolisme ini menjadikan sistem eksploitasinyapun berbeda-beda. Dalam konteks manajemen, seorang asisten kebun menjadi dituntut semakin tanggap terhadap teknologi. Persoalan manajemen penyadapan pada akhirnya juga harus seir

PISAU SADAP BIDANG SADAP ATAS

Penyadapan bidang sadap atas pada pohon karet produksinya lebih tinggi bila dibandingkan dengan penyadapab bidan sadap bawah. Arah sadapan dari kanan bawah ke kiri atas. Jadi, bila penyadapan bidang sadap bawah menarik ke bawah, maka penyadapan bidang sadap atas menyorong ke atas. Untuk iu, diperlukan pisau khusus, berupa lengkungan besi yang ujungnya tajam. Panjang tangkai tentu saja acapkali harus disesuaikan sejalan dengan semakin tingginya bidang sadap atas tersebut. Idealnya, setiap kali penyadapan, kulit yang disayat cukup 2,5 mm.   Bidang sadap atas tidak diperlukan lagi pemulihan kulitnya. Berbeda dengan bidang sadap bawah, yang harus mencermati pemulihan kulit untuk disadap kedua kalinya. Pisau sadap atas memiliki spesifikasi khusus, meliputi  lengkungan, tebal besi, ketajaman, dan sudut yang dibentuk oleh lengkungan. Tidak mudah untuk mendapatkan pisau sadap atas yang lazim disebut pisau sadap cekung. Menggunakan pisau sadap bawah untuk bidang sadap atas hanya merupak